Arsip

Posts Tagged ‘aliran dalam akuntansi syariah’

Mengenal Akuntansi Syariah (1) STIE STEMBI BANDUNG


Pengertian Akuntansi Syariah

Jika kita cermati surat Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan untuk melakukan penulisan secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan muamalah. Dari hasil penulisan tersebut dapat digunakan sebagai informasi untuk menentukan apa yang akan diperbuat oleh seseorang. Sehubungan dengan ini, beberapa definisi akuntansi dapat disajikan, diantaranya :

Littleton mendefinisikan, tujuan utama dari akuntansi adalah untuk melaksanakan perhitungan periodik antara biaya (usaha) dari hasil (prestasi). Konsep ini merupakan inti dari teori akuntansi dan merupakan ukuran yang dijadikan sebagai rujukan dalam mempelajari akuntansi.

APB (Accounting Principle Board) Statement No. 4 mendefinisikan debagai berikut “akuntansi adalah suatu kegiatan jasa. Fungsinya adalah memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang mengenai suatu badan ekonomi yang dimagsud untuk digunakan dalam pengambilan keputusan ekonomi, yang digunakan dalam memilih di antara beberapa alternatif”

AICPA (American Institute of Certified Public Accountant) mendefinisikan sebagai berikut: “ Akuntansi adalah seri pencatatan, penggolongan, dan pengikhtisaran dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi dan kejadian umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasilnya.

Dalam keterangan ini penulis menyimpulkan bahwa pengertian Akuntansi Syari’ah jika ditinjau dari secara etimologi , kata akuntansi berasal dari bahasa inggris, accounting, dalam bahasa Arabnya disebut “ Muhasabah” yang berasal dari kata hasaba, hasiba, muhasabah atau wazan yang lain adalah hasaba, hasban, hisabah, artinya menimbang, memperhitungkan mengkalkulasikan, mendata, atau menghisab, yakni menghitung dengan seksama atau teliti yang harus dicatat dalam pembukuan tertentu

Menurut Prof. Dr. Omar Abdullah Zaid dalam buku Akuntansi Syariah halaman 57 mendefinisikan akuntansi sebagai berikut :

”Muhasabah, yaitu suatu aktifitas yang teratur berkaitan dengan pencatatan transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, keputusan-keputusan yang sesuai dengan syari’at dan jumlah-jumlahnya, di dalam catatan-catatan yang representatif, serta berkaitan dengan pengukuran dengan hasil-hasil keuangan yang berimplikasi pada transaksi-transaksi, tindakan-tindakan, dan keputusan-keputusan tersebut untuk membentu pengambilan keputusan yang tepat. Melalui definisi ini kita dapat membatasi karakteristik muhasabah dalam poin-poin berikut ini :

  1. Aktifitas yang teratur.
  2. Pencatatan :
  3. Transaksi-transaksi, tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang sesuai dengan hukum .
  4. Jumlah-jumlahnya.
  5. Didalam catatan-catatan yang representatif.
  6. Pengukuran hasil-hasil keuangan.
  7. Membantu pengambilan keputusan yang tepat.

Menurut Sofyan S. Harahap dalam ( Akuntansi Social ekonomi dan Akuntansi Islam hal 56 ) mendefinisikan :” Akuntansi Islam atau Akuntansi syariah pada hakekatnya adalah penggunaan akuntansi dalam menjalankan syariah Islam. Akuntansi syariah ada dua versi, Akuntansi syariah yang yang secara nyata telah diterapkan pada era dimana masyarakat menggunakan sistem nilai Islami khususnya pada era Nabi SAW, Khulaurrasyidiin, dan pemerintah Islam lainnya. Kedua Akuntansi syariah yang saat ini muncul dalam era dimana kegiatan ekonomi dan sosial dikuasai ( dihegemony) oleh sistem nilai kapitalis yang berbeda dari sistem nilai Islam. Kedua jenis akuntansi itu bisa berbeda dalam merespon situasi masyarakat yang ada pada masanya. Tentu akuntansi adalah produk masanya yang harus mengikuti kebutuhan masyarakat akan informasi yang disuplinya”

Prinsip dalam Akuntansi Syariah

Nilai pertanggungjawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja telah menjadi prinsip dasar yang universal dalam operasional akuntansi syari’ah. Apa makna yang terkandung dalam tiga prinsip umum tersebut? Berikut uraian ketiga prinsip yang terdapat dalam surat Al-Baqarah: 282.

Prinsip Pertanggungjawaban

Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim.Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsepamanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi manusia dengan sag Khaliq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah dimuka bumi. Manusia dibebani amanah oleh Allah untuk menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau menunaikan amanah.

Banyak ayat Al-quran yang menjelaskan tentang proses pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah di muka bumi. Implikasi dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dalam praktik bisnis harus selalu melakukan pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait. Wujud pertanggungjawabannya biasanya dalam bentuk laporan akuntansi.

Prinsip Keadilan

Jika ditafsirkan lebih lanjut, ayat 282 surat Al-Baqarah mengandung prinsip keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang secara inheren melekat dalam fitrah manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energi untuk berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya.

Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah sebesar Rp. 100 juta maka akuntansi (perusahaan akan mencatatnya dengan jumlah yang sama; Dengan kata lain, tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.

Dengan demikian, kata keadilan dalam konteks aplikasi akuntansi mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama adalah berkaitan dengan praktik moral, yaitu kejujuran, yang merupakan faktor yang sangat dominan. Tanpa kejujuran ini, informasi akuntansi yang disajikan akan menyesatkan dan sangat merugikan masyarakat. Kedua, kata adil bersifat lebih fundamental (dan tetap berpijak pada nilai-nilai etika/syari’ah dan moral). Pengertian kedua inilah yang lebih merupakan sebagai pendorong untuk melakukan upaya-upaya dekonstruksi terhadap bangun akuntansi modern menuju pada bangun akuntansi (alternatif) yang lebih baik.

Prinsip Kebenaran

Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akuntansi kita akan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran dan pelaporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan keadilan dalam mengakui, mengukur, dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.

Kebenaran dalam Al-Quran tidak diperbolehkan untuk dicampur adukkan dengan kelebathilan. Namun, barangkali ada pertanyaan dalam diri kita, siapakah yang berhak menentukan kebenaran? Untuk hal ini tampaknya kita masih terkendala, namun sebagian muslim, selayaknya kita tidak risau atas hal tersebut. Sebab Al-Qur’antelah menggariskan, bahwa ukuran, alat atau instrumen untuk menetapkan kebenaran tidaklah berdasarkan nafsu

  1. Aliran dalam Akuntansi Syariah

Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.

  1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis

Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.

Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).

Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.

Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.

  1. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis

Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).

Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.

Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).

  1. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

  1. Persamaan dan Perbedaan Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
  2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
  3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
  4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
  5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
  6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
  7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

  1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
  2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
  3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
  4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
  5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
  6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

  1. Isu-Isu Kontemporer Akuntansi Syariah

Pada awal tahun 90-an Indonesia pada khususnya telah menunjukkan keadaan perubahan yang lebih membaik. Perkembangan sistem ekonomi dan bisnis berlandaskan Islam telah menujukkan trend yang cukup menggembirakan. Hadirnya lembaga keuangan syari’ah di belahan bumi menunjukkan langkah kemajuan keberadaan sistem ekonomi dan bisnis Islam di tanah air ini. Lembaga-lembaga seperti itu adalah organisasi yang bercirikan “amanah”. Dalam organisasi semacam ini, keberadaan etika sangat penting. Bagi umat Islam, kegiatan bisnis (temasuk bisnis perbankan) tidak akan pernah terlepas dari ikatan etika Islam.

Bukan hal yang berlebihan bila bank Islam berdasarkan pada nilai etika Islam. Bahkan secara formal bank Islam membentuk badan khusus dalam organisasinya. Badan ini bertugas memberikan pandangan-pandangan dasar-dasar etika (atau pengawasan) Islam bagi manajemen dalam menjalankan operasi bank (termasuk pencatatan dan pelaporan akuntansinya). Badan tersebut dinamakan Dewan Pengawas Syari’ah yang berdiri secara independen di dalam organisasi bank.

Dalam perkembangan perbankan sebagai intemediry antara unit supply dengan unit demand. Disinilah diperlukan proses pencatatan dan pelaporan semua transaksi dan kegiatan muamalah yang dilakukan di perbankan, sehingga perlu sistem akuntansi yang sesuai (relevan). Dengan demikian perlu proses transformasi. Transfrormasi ini tidak saja akan mempengaruhi perilaku manajemen, pemegang saham, karyawan dan masyarakat sekeliling, tetapi juga organisasi yang bersangkutan. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa bentuk organisasi adalah faktor-faktor satu-satunya yang dapat mempengaruhi bentuk akuntansi. Faktor lain seperti sistem ekonomi, sosial, politik, peraturan perundang-undangan, kultur, persepsi dan nilai yang berlaku dalam masyarakat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap bentuk akuntansi. Ini juga menunjukkan bahwa akuntansi adalah sebuah entitas informasi yang tidak bebas nilai.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai-nilai, sistem dan filsafat sebuah ilmu akan turut menentukan model ilmu yang berkembang di suatu negara. Apabila suatu negara menganut sistem ekonomi kapitalisme, maka sistem akuntansi yang berkembang adalah sistem akuntansi kapitalis. Demikian pula, apabila suatu negara mengikuti sistem ekonomi Islam maka upaya yang harus dikembangkan adalah sistem Akuntansi Syari’ah.

Mempelajari dan menerapkan Akuntansi Syari’ah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip keseimbangan (balance) atas transaksi atau perkiraan atau rekening yang telah dicatat untuk dilaporkan kepada yang berhak mendapatkan isi laporan. Islam adalah cara hidup yang berimbang dan koheren, dirancang untuk kebahagiaan (falah) manusia dengan cara menciptakan keharmonisan antara kebutuhan moral dan material manusia dan aktualisasi sosio-ekonomi, serta persaudaraan dalam masyarakat manusia. Triyumono menyatakan bahwa Akuntansi Syari’ah merupakan salah satu upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk humanis dan syarat nilai.

Sesuai dengan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka seluruh upaya dilakukan oleh manusia harus mampu merespon kebutuhan masyarakat atau harus memiliki orientasi sosial. Demikian pula upaya kita untuk mengembangkan Akuntansi Syari’ah. Akuntansi harus berkembang dengan merespon kebutuhan masyarakat. Lebih lanjut Gilling (1996) menjelaskan situasi akuntansi yang intinya sebagai berikut:

Akuntansi adalah alat mekanis yang secara pribadi diterapkan pada kegiatan bisnis, akuntansi berkembang menjadi media yang sangant penting untuk mengungkapkan pada fakta umum yang penting tentang masyarakat modern dan komplek di mana kita hidup. Akuntansi bertindak sebagai fungsi pencatatan dengan melaporkan informasi yang berguna bagi pemilik dan pemegang saham, investor yang disebabkan pemisahan pemilikian dengan pengawasan tidak lagi memiliki pengetahuan langsung tentang kondisi dan kegiatan usaha.

Tujuan akuntansi tidak lagi membuat pertanggungjawaban yang jelas bagi pemilik tetapi membiarkan perusahaan survive. Di pihak lain akuntansi telah menjadi alat ukur menghitung keuntungan perusahaan yang berbeda dari keuntungan sosial. Sementara, masyarakat mengharapkan agar perusahaan bertindak sebagai koordinator dalam menggunakan SDM, bahan dan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dan dalam mendistribusikan hasilnya kepada penyumbang. Tetapi sayangnya belum dikembangkan kepada metode untuk melaporkan kemajuan masyarakat dan juga tidak membuat laporan hasil atas hasilnya.

Islam melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi atau pembuat laporan akuntansi adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagai ditegaskan dalam surat Al Baqaroh ayat 282. Disamping itu, Akuntansi Syari’ah harus berorietasi sosial. Akuntansi Syari’ah tidak hanya sebagai alat ukur untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi sebagai suatu metode untuk menjelaskan fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Hayashi (1995) dalam bukunya yang berjudul On Islamic Accounting yang dijelaskan bahwa akuntansi kapitalis, konsep Akuntansi Syari’ah, perhitungan zakat dan kasus Feisal Islamic Bank di Kairo dan praktek bisnis di Arab Saudi. Hayashi mengemukakan perbedaan yang mendasar antara akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Syari’ah memiliki metarule yaitu hukum Islam yang digambarkan oleh Al Qur’an dan Hadits sedangkan akuntansi kapitalis tidak memiliki itu. Akuntansi kapitalis hanya bergantung pada keinginan user sehingga bersifat lokal dan situasional.

Harahap (1992) dalam bukunya berjudul Akuntansi, Pengawasan dan Manajeme dalam Perspektif Islam, melihat dari sudut nilai-nilai Islam yang ada di dalam konsep akuntansi kapitalis. Dari analisis terhadap prinsip dan sifat-sifat akuntansi dikemukakan, bahwa banyak prinsip akuntansi yang sesuai dengan konsep Islam, seperti prinsip substance over from, reliability, objectivity, timeline dan lain sebagainya (1992 : 8-9). Selanjutnya sesuai dengan perkembangan akuntansi kapitalis banyak mengalami pemangkasan aspek-aspek yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, sehingga dia yakin konsep akuntansi kapitalis saat ini akan menuju irama Akuntansi Syari’ah.

Penelitian yang dilakukan oleh Adnan (1996) yang berjudul An Invetigation of Accounting Concepts an Practice in Islamic Banks, The Case of Bank Islam Malaysia Berhad dan Bank Muamalat Indonesia yang dalam kesimpulannya sebagai berikut:

  1. Secara koseptual, kedua bank masih memakai konsep dan praktik yang lazim dilakukan dalam akuntansi konvensional.
  2. Tinjauan kritis bahwa sebenarnya tidak semua konsep dasar akuntansi dapat diterima secara syari’ah
  3. Berdasarkan butir kedua di atas khususnya menyiratkan perlunya dibangun model akuntansi yang memang sesuai dengan syari’ah, bila diharapkan terjadi konsistensi antara gerak ekonomi Islam dan istrumen pendukungnya.

Dalam pandangan Iwan Triyuwono bahwa Akuntansi Syari’ah yang berorientasi sosial merupakan salah upaya mendekonstruksi akuntansi modern ke dalam bentuk yang humanis dan sarat nilai. Tujuanya adalah tercipta peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transendental dan teleologikal. Konsekuensi ontologis dari hal ini adalah bahwa akuntan secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas (peradaban) semu beserta jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan atau menciptakan realitas alternatif dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa ilahi yang mengikat manusia dalam hidup sehari-hari.

Akuntansi Syari’ah adalah akuntansi yang berorientasi sosial. Artinya akuntansi ini tidak hanya sebagai alat untuk menterjemahkan fenomena ekonomi dalam bentuk ukuran moneter tetapi juga sebagai suatu metode menjelaskan bagaimana fenomena ekonomi itu berjalan dalam masyarakat Islam. Akuntansi Syari’ah termasuk didalamnya isu yang tidak biasa dipikirkan oleh akuntansi konvensional. Perilaku manusia diadili di hari kiamat. Akuntansi harus dianggap sebagai salah satu derivasi/hisab yaitu menganjurkan yang baik dan melarang apa yang jelek. Realitas Akuntansi Syari’ah adalah tercermin dalam akuntansi zakat.

Akuntansi zakat menunjukkan proses di mana kekayaan diperoleh secara halal oleh perusahaan. Ini merupakan salah satu contoh dari turunan hisab yang merupakan bidang akuntansi. Disamping itu ternyata melalui Al Qur’an telah menggariskan bahwa konsep akuntansinya adalah penekanan pertanggungjawaban atau accountability yang tujuanya menjaga keadilan dan kebenaran.

Akuntansi Konvensional Vs Islam

Wacana di sekitar akuntansi syariah ini mucul, kurang lebih sama dengan atau tidak lama setelah kemunculan kembali bank Islam itu sendiri. Sejak itu banyak tulisan atau publikasi tentang akuntansi syariah oleh para pakar misalnya Abdel Magid (1981), Ba-Yunus (1988), Badawi (1988), Hayashi (1989), Adnan (1996), Triyuwono (1996), Harahap (1996), Muhammad (2005) untuk menyebut beberapa contoh diantaranya.

Kendati ada kesan bahwa pada mulanya pakar berbeda pendapat dalam menilai urgensi perbedaan Akuntansi Syari’ah dan konvensional, atau cukup merubah sedikit saja apa yang sudah ada dalam akuntansi konvensional, namun dalam perkembangan berikunya, gumpalan semangat untuk berbeda, ternyata lebih menguat. Ini memuncak setelah dilakukan berbagai studi yang kemudian dijadikan landasan untuk dibentuknya The Financial Accounting Organization for Islamic Bank and Financial Institutions (FAO-IBFI) pada tahun 1990. Dalam perkembangannya lembaga ini kemudian berganti nama menjadi The Accounting and Auditing Organization for Islmic Financial Institutions (AAO-IFI).

Ada sejumlah argumentasi yang diajukan, mengapa Akuntansi Syari’ah harus berbeda dengan akuntansi konvensional. Diantaranya adalah karena faktor-faktor tujuan. Siapapun yang bertransaksi dengan cara Islam, harus diasumsikan bahwa tujuannya adalah dalam rangka mematuhi perintah Allah dan sekaligus ridha-Nya. Ini tentu sangat berbeda dengan tujuan yang biasa ingin dicapai akuntansi konvensional, yang biasanya hanya sarat dengan nilai-nilai keduniawian, tetapi kering dari nilai-nilai ukhrawi. Secara lebih spesifik, dengan merujuk pada Statement of Financial Accounting (SFA) No. 1, alasan yang dipakai menyusun tujuan yang berbeda untuk Akuntansi Syari’ah adalah karena:

  1. Islamic banks must comply with the principles and rules of Shari’a in all their financial and other dealings
  2. The functions of Islamic banks are significantly different from those of traditional banks who have adopted the Western model of banking
  3. The relatioship between Islamic banks and the parties that deal with them differs from the relatioship of those who deal with the traditional banks. Unlike traditional banks, Islamic banks do not use interest in their investment and financing transactions, whereas traditional banks borrow and lend money on the basis of interest.

Pendapat di atas rasanya cukup jelas dan masuk akal, bila kemudian disimpulkan bahwa wajar – bahkan haruslah – Akuntansi Syari’ah tidak sama dengan akuntansi konvensional. Disamping itu kalau seseorang mencoba memahami hakekat keberadaan akuntansi sebagai alat yang tidak bebas nilai, dan bahkan penuh kompromi untuk berbagai kepentingan pihak tertentu. Ada dua aliran yang terjadi, pertama adalah mereka yang menghendaki tujuan dan berbagai kaidah Akuntansi Syari’ah dibangun atas dasar prinsip dan ajaran Islam, lalu membandingkannya dengan pemikiran-pemikiran akuntansi kontemporer yang sudah mapan. Kedua, adalah berangkat dari tujuan dan kaidah akuntansi konvensional yang sudah ada, kemudian mengujinya dari padang Islam. Bagian yang dipandang sejalan diterima dan dipakai, sedangkan bagian yang dipandang tidak sesuai ditolak.

Evalusai Kritis Akuntansi Konvensional

Akuntansi konvensional dikembangkan oleh ide orang Barat yang digunakan di seluruh dunia. Sistem tersebut dikenal sebagai sistem yang paling baik di masyarakat. Hal ini disebabkan karena mungkin ditandai dengan eksportasi teknologi akuntansi (yaitu teknik, institusi dan konsep dari asosiasi akuntansi profesional yang sangat dominan) melalui kolonisasi, pendidikan, pengembangan perdagangan dan usaha harmonisasi internasional khususnya di negara Islam yang sedang berkembang di dunia ini. Walaupun beberapa negara (seperti Malaysia dan Pakistan) mencoba mengadaptasi bahkan mengadopsi seluruh ide, sebagai usaha minimal.

Demikian pula, pengenalan beberapa konsep dan nilai mendasar akuntansi konvensional saat ini adalah bersifat kontradiksi bagi masyarakat Islam. Sebab secara mendasar hal tersebut berhubungan dengan bunga atau riba. Riba adalah sesuatu yang diharamkan. Di samping itu, ada beberapa unsur yang masuk dalam kategori gharar. Banyak isu lain, sebagaimana diharapkan oleh para akuntan muslim. Demikian pula Dewan Pengawas Syariah yang secara efektif mengontrol mekanisme akuntansi.

Masalah penting yang perlu diselesaikan adalah adanya akuntansi Islam yang dapat menjamin terciptanya keadilan ekonomi melalui formalisasi prosedur, aktivitas, pengukuran tujuan, kontrol dan pelaporan yang sesuai dengan prinsip Islam, dengan memfokuskan pada dua ide dasar dalam akuntansi konvensional yang diterima sebagai problematik dan tidak sesuai dengan orang Islam. Masalah pertama berhubungan dengan fondasi filsafat dan kedua berhubungan dengan peran dan fungsi akuntansi dalam masyarakat.

Munculnya paradigma agama sebagai sumber pengorganisasi dan pengawasan bisnis. Namun yang terjadi sebaliknya paradigma kapitalis mendorong tumbuhnya sifat serakah manusia, memelihara paham sekularisme, yang mengarahkan pada sifat materialisme dan pada akhirnya cenderung bersifat hedonisme, dengan mengedepankan ideologi rasionalisme. Dengan demikian, menjadikan problem yang lebih besar lagi dalam raperspektif rasionalisme adalah pemisahan agama dari aktivitas ekonomi. Problem seperti ini, juga sampai seluruh dimensi atau aspek ekonomi konvensional, sebagai contoh epistemologi akuntansi konvensional memandang gejala ekonomi merupakan suatu gejala yang bersifat murni, ia tidak ada hubungannya dengan aspek sosial dan spiritual dalam kehidupan umat manusia.

Problem lainya adalah berhubungan dengan masalah efesiensi alokasi sumber daya yang didasarkan pada mekanisme pasar. Rasionalisme beranggapan bahwa mekanisme pasar akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari penciptaan kekayaan.

Tujuan-tujuan Akuntansi Keuangan dan Laporan Keuangan

Ada dua hal yang menarik dalam hal ini, pertama adalah perbedaan antara tujuan akuntansi keuangan dan tujuan laporan keuangan. Dalam berbagai literatur, banyak penulis yang menyamakan antara keduanya. Mathews & Parera (1996) mengatakan:

Strictly speaking, financial statement cannot have objectives; only those individuals who cause the statement to be produced and who use them can have objectives.

Mathews & Parera (1996) lebih jauh mengatakan:

What are often referred to as the objectives of financial statements are really the functions of financial statements ..

Dengan demikian berangkat dari pemikiran di atas, sebetulnya apa yang menjadi tujuan laporan keuangan, merupakan tujuan dan fungsi akuntansi sendiri. Dalam konteks ini, bilamana kita harus berpijak pada prinsip idealime Islam, maka sesuai dengan hasil kajian tesis Adnan (1996), tujuan akuntansi dapat dibuat dua tingkatan. Pertama, tingkatan ideal, dan kedua tingkatan praktis. Pada tataran ideal, sesuai dengan peran manusia di muka bumi dan hakikat pemiliki segalanya (QS 2:30, 6:165, 3:109, 5:17), maka semestinya yang menjadi tujuan ideal laporan keuangan adalah pertanggungjawaban muamalah kepada Sang Pemilik yang kakiki, Allah SWT. Namun karena sifat Allah Yang Maha Tahu, tujuan ini bisa dipahami dan ditransformasikan dalam bentuk pengamalan apa yang menjadi sunnah dan syariah-Nya. Dengan kata lain, akuntansi harus terutama berfungsi sebagai media penghitungan zakat, karena zakat merupakan bentuk manifestasi kepatuhan seorang hamba atas perintah Sang Empunya.

Tujuan pada tataran pragmatis barulah diarahkan kepada upaya untuk menyediakan informasi kepada stakeholder dalam mengambil keputusan-keputusan ekonomi. Namun sayangnya, apa yang hendak dicapai lewat SFA No. 1 barulah pada tataran ini.

Hal kedua yang menarik dari pembedaan antara objectives of financial accounting dan objectives of financial reports seperti yang dinyatakan dalam Chapter, SFA No. 1 adalah sesuatu yang kabur. Artinya, ketika SFA menjelaskan tujuan-tujuan financial reports, yang disajikan justru tipe informasi yang harus dimuat. Dengan kata lain, kurang lebih sama dengan semacam syarat kualitatif kandungan laporan keuangan. Misalnya, bahwa laporan mengandung informasi tentang kepatuhan bank terhadap syariah dan oleh karenanya harus ada informasi tentang pos-pos non-halal; informasi sumber daya dan kewajiban, termasuk akibat suatu transaksi atau kejadian ekonomi terhadap sumber daya entitas, maupun kewajibannya; informasi yang dapat membantu pihak-pihak tertentu dalam menghitung zakatnya; informasi yang dapat membantu pihak terkait dalam memprediksi aliran kas bank dan seterusnya.

Kerangka Dasar Akuntansi Keuangan

Kerangka dasar akuntansi keuangan versi AAO-IFI dituangkan dalam SFA No. 2. Ini meliputi 9 bab, termasuk pengantar dan pernyataan adopsi oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan AAO-IFI. Tidak seperti halnya akuntansi keuangan konvensional, akuntansi bank syariah menuntut lebih banyak bentuk laporan sebagai berikut:

  1. Laporan posisi keuangan
  2. Laporan laba rugi
  3. Laporan arus kas
  4. Laporan laba ditahan
  5. Laporan perubahan dalam investasi terbatas
  6. Laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial
  7. Laporan sumber dan penggunaan dana dalam qardh

Empat laporan pertama adalah unsure-unsur laporan keuangan yang sudah dikenal selama ini secara konvensional, sedangkan tiga terakhir bersifat khas. Ketiga laporan yang terakhir ini muncul akibat perbedaan peran dan fungsi bank Islam, dibandingkan bank konvensional.

prasyarat untuk mampu mensikapi dan memahami lebih dalam maka seseorang harus mempelajari 3 tiga prinsip ISlam yaitu AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ, Jika ketiga Prinspi ini tidak difahami maka penerimaan EKONOMI ISLAM ATAU BANK SYARIAH hanya sekedar ilmu yang tidak bisa diamalkan.usia 80 sujud

Literatur

Terjemah al quran

Terjemah al hadits

Muhammad,

M Antonio,

http://kurmakurma.wordpress.com/ekonomi/mengenal-akuntansi-syariah/